Rabu, 13 Mei 2020


PRINSIP ETIKA DALAM BISNIS SERTA ETIKA DAN LINGKUNGAN

2.1 Prinsip Etika Dalam Berbisnis
2.1.1    Prinsip Otonomi
Prinsip otonomi ini berkaitan dengan sikap dan kemampuan individu dalam mengambil sebuah keputasan dan tindakan yang tepat. Dengan kata lain, seorang pelaku bisnis harus bisa mengambil keputusan yang baik dan tepat, dan mempertanggungjawabkan keputusan tersebut.
Pelaku usaha bisa dikatakan punya prinsip otonomi dalam berbisnis jika ia memiliki kesadaran penuh akan kewajibannya dalam menjalankan usaha. Artinya, seorang pengusaha memahami bidang usaha yang dikerjakan, situasi yang dihadapi, serta tuntutan dan aturan yang berlaku di bidang tersebut.
Pelaku usaha juga dikatakan memiliki prinsip otonomi bila ia sadar bahwa keputusan dan tindakan yang diambil sesuai atau bertentangan dengan nilai atau norma moral tertentu, serta memiliki risiko yang dapat terjadi bagi dirinya dan perusahaan. Prinsip otonom bukanlah sekedar mengikuti nilai dan norma yang berlaku, tapi juga kesadaran dalam diri bahwa yang dilakukan adalah hal yang baik.

2.1.2    Prinsip Kejujuran
Prinsip kejujuran seharusnya menjadi dasar penting dalam menjalankan usaha apapun. Sebagian besar pengusaha sukses, baik pengusaha modern maupun pengusaha konvensional, mengaku bahwa kejujuran adalah salah satu kunci keberhasilan dalam bisnis apapun.
Prinsip kejujuran ini sangat penting untuk dilakukan oleh para pengusaha. Pada umumnya bisnis yang berjalan tanpa mengedapankan prinsip kejujuran tidak akan bertahan lama.
Bagi pengusaha, kejujuran ini dikaitkan dengan kualitas dan harga barang yang ditawarkan pada konsumen. Dengan kata lain, menjual produk bermutu tinggi dengan harga pantas dan wajar merupakan bentuk kejujuran dari seorang pengusaha kepada konsumen.
Kejujuran sangat besar dampaknya dalam proses menjalankan usaha. Sekali saja seorang pelaku usaha tidak jujur/ menipu konsumen, maka ini adalah awal kemunduran bahkan kehancuran sebuah bisnis. Apalagi di bisnis modern seperti sekarang ini yang tingkat persaingannya sangat tinggi.

2.1.3    Prinsip Keadilan
Adil dalam hal ini berarti semua pihak yang terlibat dalam bisnis memiliki hak untuk mendapatkan perlakuan yang sama sesuai aturan yang berlaku. Dengan begitu, maka semua pihak yang terkait dalam bisnis harus memberikan kontribusi terhadap keberhasilan bisnis yang dijalankan, baik secara langsung maupun tak langsung.
Dengan menerapkan prinsip keadilan ini dengan baik, maka semua pihak yang terlibat di dalam bisnis, baik relasi internal maupun relasi eksternal, akan mendapat perlakuan yang sama sesuai dengan haknya masing-masing.

2.1.4       Prinsip Saling Menguntungkan
Prinsip saling menguntungkan ini artinya aktivitas bisnis yang dijalankan memberikan keuntungan bagi semua pihak. Berbeda dengan prinsip keadilan yang menuntut agar semua pihak tidak merasa rugi, prinsip saling menguntungkan ini menuntut hak yang dalam hal keuntungan kegiatan bisnis.
Prinsip saling menguntungkan ini utamanya mengakomodasi hakikat dan tujuan bisnis itu sendiri. Pada praktiknya, prinsip ini terjadi dalam proses bisnis yang baik dimana pengusaha ingin mendapat keuntungan dan konsumen ingin mendapat barang atau jasa yang memuaskan.

2.1.5       Prinsip Loyalitas
Prinsip loyalitas berhubungan dengan proses menjalankan bisnis yang dilakukan oleh para pekerja, baik manajemen, atasan, maupun bawahan. Loyalitas dapat dilihat dari cara kerja dan keseriusan dalam menjalankan usaha sesuai dengan visi dan misi (baca: pengertian visi dan misi) perusahaan.
Dengan kata lain, penerapan prinsip loyalitas ini berarti pengusaha dan unsur-unsur di dalamnya tidak boleh mencampur-adukkan masalah pribadi dengan urusan pekerjaan.

2.1.6       Prinsip Integritas Moral
Setiap perusahaan harus memiliki integritas moral yang baik. Dengan begitu, perusahaan lebih dapat dipercaya masyarakat. Menerapkan prinsip ini, berarti seluruh pelaku bisnis, baik karyawan hingga manajemen harus selalu menjaga nama baik perusahaan.
Itulah beberapa pendekatan dan prinsip dalam menerapkan etika bisnis perusahaan. Dengan etika bisnis yang baik, perusahaan dapat berkembang dengan mudah. Etika bisnis dalam sebuah perusahaan menjadi wajah dari perusahaan tersebut. Contoh seperti kejujuran pemilik usaha. Jika pemilik usaha selalu jujur kepada karyawan maupun rekan kerja, tentu rekan kerja akanmelihat perusahaan tersebut adalah perusahaan yang memiliki performa bagus karena kejujuran yang ada. Tetapi jika sebaliknya, pemilik usaha sama sekali tidak jujur baik kepada karyawan maupun rekan kerja, maka mudah sekali cap jelek dari rekan bisnis lain datang untuk pemilik usaha tersebut. Bahkan bisa jadi seluruh perusahaan juga mendapat cap jelek.
Selain menerapkan etika bisnis, Anda juga harus menerapkan keuangan yang lebih baik. Kondisi keuangan yang baik secara langsung dapat membantu mengembangkan perusahaan dengan mudah. Untuk mengetahui kondisi keuangan yang baik, Anda membutuhkan laporan keuangan perusahaan.



2.1.7       Prinsip Hormat Pada Diri Sendiri
Prinsip hormat pada diri sendiri dalam etika bisnis merupakan prinsip Tindakan yang dampaknya berpulang Kembali kepada bisnis itu sendiri. Dalam aktivitas bisnis tertentu ke masyarakat merupakan cermin diri bisnis yang bersangkutan. Namun jika bisnis memberikan kontribusi yang menyenangkan bagi masyarakat, tentu masyarakat memberi respon sama. Sebaliknya jika bisnis memberikan image yang tidak menyenangkan, maka masyarakat tentu tidak menyenangi terhadap bisnis yang bersangkutan.
Contoh prinsip hormat pada diri sendiri dalam etika bisnis : jika para manajemennya berorientasikan pada pemberi kepuasan kepada karyawan yang berprestasi karena sepadan dengan prestasinya maka dapat dipastikan karyawan akan semakin loyal terhadap perusahaan.

2.2            Hak dan Kewajiban dalam Etika Bisnis
Hak dan kewajiban konsumen diatur dalam pasal 4 dan 5 UU No. 8 / 1999, sebagai berikut:
Hak konsumen antara lain:
·         hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
·         hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
·         hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
·         hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
·         hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
·         hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
·         hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
·         hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau  jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
·         hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Kewajiban konsumen adalah:
·         membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
·         beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
·         membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
·         mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen.

2.2.2       Hak dan kewajiban Pelaku Usaha
Hak dan kewajiban pelaku usaha / pengusaha diatur dalam pasal 6 dan 7 UU No. 8 / 1999.
Hak pelaku usaha adalah:
·         hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
·         hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;
·         hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;
·         hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
·         hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Kewajiban pelaku usaha adalah:
·         beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
·         memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
·         memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
·         menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
·         memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
·         memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
·         memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang dterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

2.3.1    Justice Approach
Dalam tindakan ini, semua orang yang memiliki hak untuk mengambil keputusan berada di posisi yang sama, dan bertindak adil dalam melayani pelanggan, baik individu maupun kelompok.
Pendekatan etika bisnis ini dapat menguntungkan baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.

2.3.2    Individual Rights Approach
Dalam pendekatan ini mempengaruhi kemampuan seseorang untuk menghargai tindakan satu sama lain.
Namun, ketika suatu tindakan dianggap menyebabkan perpecahan atau bertentangan dengan hak orang lain, maka tindakan ini harus dihentikan / dihindari.

2.3.3    Utilitarian Approach
Dalam pendekatan ini, semua tindakan yang diambil harus didasarkan pada pemahaman akan konsekuensi.
Artinya, seorang wirausahawan harus dapat memberikan manfaat baru kepada masyarakat dengan biaya serendah mungkin tanpa membahayakan orang lain.

2.4.1    ANTROPOSENTRISME ( Shallow Environtmental Ethics)
Antroposentrisme adalah teori lingkungan yang memandang manusia sebagai pusat dari alam semesta. Mengaggap bahwa manusia manusia dan kepentingannya sebagai nilai tertinggi, sehingga mengatakan bahwa nilai dan prinsip moral hanya berlaku bagi manusia sehingga etika hanya berlaku bagi manusia. Kewajiban dan tanggung jawab manusia terhadap alam merupakan perwujudan kewajiban dan tanggung jawab moral terhadap sesama manusia, bukan terhadap alam itu sendiri.   Etika ini bersifat intrumentalistik artinya pola hubungan manusia dengan alam yaitu alam sebagai alat kepentingan manusia. Manusia peduli terhadap alam, demi menjamin kebutuhan hidup manusia sehingga jika alam itu tidak berguna bagi kepentingan hidup manusia maka akan diabaikan saja. Disebut sebagai etika teologis karena mendasarkan pertimbangan moral pada akibat dari tindakan tersebut bagi kepentingan manusia. Suatu kebijakan dan tindakan yang baik dalam kaitan dengan lingkungan hidup akan dinilai baik kalau mempunyai dampak yang menguntungkan bagi kepentingan manusia.
Etika ini juga bersifat egoistis karena hanya mengutamakan kepentingan manusia, karena kepentingan mahkluk hidup lain mendapat pertimbangan moral tetap saja demi kepentingan manusia, maka dianggap sebagai etika lingkunan yang dangkal dan sempit (shallow environmental ethics).
Krisis lingkungan dianggap terjadi karena perilaku manusia yang dipengaruhi cara pandang antroposentris. Cara pandang ini menyebabkan pola perilaku manusia yang eksploitatif, dekstruktif dan tidak perduli terhadap alam. Apa saja boleh dilakukan manusia terhadap alam sejauh tidak erugikan kepentingan manusia. Kepentingan manusia dalam hal bersifat jangka pendek.
1)          Argumen Antroposentris
Historis pemikiran antroposentris :
a.      Teori Kristen
·       Kitab Kejadian 1: 26-28
Penafsiran akan ayat ini adalah Allah memberi wewenang penuh kepada manusia untuk mengeksploitasi alam demi kepentingan manusia.
·       Kejadian Pasal 2: 9
Ketidakpatuhan manusia terhadap Allah melainkan memutuskan sendiri mana yang baik atau tidak baik dilakukan. Kaitannya dengan alam semesta menganggap yang baik adalah yang menunjang kehidupannya sebagai manusia sehingga dipelihara, dan yang jahat adalah yang mengancam kehidupan manusia sehingga harus dibasmi. Terjadinya krisis lingkungan karena manusia mengintervensi lingkungan demi kepentingannya.
b.     The Great Chain of Being
Fokus utama terhadap Rantai Kehidupan ( The Great Chain of Being) dimana semua kehidupan di bumi membentuk dan berada dalam sebuah rantai kesempurnaan kehidupan, mulai dari yang paling sederhana sampai pada Maha Sempurna, yaitu Allah. Setiap ciptaan lebih rendah dimaksudkan untuk kepentingan ciptaan yang lebih tinggi. Hal itu dianggap sah karena demikianlah kodrat kehidupan dan tujuan penciptaan.
c.      The Free and Rational Being
Manusia lebih tinggi dan terhormat dibandingkan dengan mahkluk ciptaan lain karena manusia adalah satu-satunya mahkluk bebas dan rasional, oleh karena itu Tuhan menciptakan dan menyediakan segala sesuatu di bumi demi kepentingan manusia. Manusia mampu mengkomunikasikan isi pikirannya dengan sesama manusia melalui bahasa. Manusia diperbolehkan menggunakan mahkluk non-rasional lainnya untuk mencapai tujuan hidup manusia, yaitu mencapai suatu tatanan dunia yang rasional.
Perspektif serta pemahaman antroposentris oleh WH. Murdy dan F. Frase Darling merupakan pembelaan akan teori ini. Murdy menyatakan bahwa semua mahkluk di dunia ini ada dan hidup sebagai tujuan pada dirinya sendiri, sehingga hal yang wajar dan alamiah kalau manusia menganggap dirinya lebih tinggi dari mahkluk lain. Demi mencapai tujuannya manusia harus menilai tinggi alam, karena kelangsungan hidup dan kesejahteraan hidup manusia tergantung dari kualitas, keutuhan dan stabilitas ekosistem seluruhnya. Permasalahannya adalah tujuan-tujuan yang berlebihan yang berada di luar batas toleransi ekosistem itu sendiri. Jadi menurut Murdy krisis lingkungan disebabkan oleh penedekatan antroposentris yang berlebihan.
Menurut Darling, pendekatan antroposentrisme tidak salah karena dengan menempatkan manusia pada posisi lebih terhormat, manusia dituntut untuk bertanggung jawab khusus terhadap seluruh isi alam semesta. Yang salah adalah penerapan antroposentrisme yang hanya melihat superioritas posisi manusia yang berkuasa atas alam secara sewenang-wenang.

2)          Etika Intrumentalistik
Beberapa posisi dan argumen moral yang dapat menjadi pegangan bagi manusia dalam hubungannya dengan lingkungan.
a.      Prudential and Instrumental Argument
Prudential Argument menekankan bahwa kelangsungan hidup dan kesejahteraan manusia tergantung dari kualitas dan kelestarian lingkungan.Argumen Instrumental adalah penggunaan nilai tertentu pada alam dan segala isinya, yakni sebatas nilai instrumental. Dengan argumen ini, manusia mengembangkan sikap hormat trhadap alam.
b.     Teologi Kristen
Dalam kisah penciptaan, manusia diciptakan secitra dengan Allah, sehingga manusia sebagai wakil Allah mempunyai tanggung jawab moral khusus, bahkan sangat berat, untuk menjaga dan melestarikan alam ciptaanNya.

2.4.2    BIOSENTRISME (Intermediate Environmental Ethics)
Ciri - ciri Teori Etika Biosentrisme menganggap setiap kehidupan dan mahkluk hidup mempunyai nilai dan berharga pada dirinya sendiri. Mendasarkan moralitas keluhuran kehidupan, baik pada manusia ataupun makhluk hidup lainnya. Karena bernilai pada dirinya sendiri, kehidupan harus dilindungi. Untuk itu, dibutuhkan etika sebagai penuntun manusia dalam bertindak melindungi dan menjaga kehidupan.
a.        Teori Lingkungan yang Berpusat pada Kehidupan (Life-Centered Theory of Environment)
Intinya adalah manusia mempunyai kewajiban moral terhadap alam yang bersumber dan berdasarkan pada pertimbangan bahwa, kehidupan adalah sesuatu yang bernilai. Etika ini diidasarkan pada hubungan yang khas anatara alam dan manusia, dan nilai yang ada pada alam itu sendiri.
Menurut Paul Taylor, biosentrisme didasarkan pada empat keyakinan yaitu:
·         Manusia adalah anggota komunitas kehidupan di bumi, sama halnya dengan makhuk lain.
·         Spesies manusia, dan spesies lain adalah bagian dari sistem yang saling tergantung.
Semua organisme adalah pusat kehidupan yang mempunyai tujuan sendiri. Pemikiran-pemikiran tersebut melahirkan pemahamn baru akan manusia yaitu :
·         Manusia hanya makhluk biologis yang sama dengan makhluk biologis lain.
·         Manusia mendiami bumi yang sama dengan makhluk lain
·         Manusia merupakan bagian dari keseluruhan, bukan pusat dari alam semesta.
Perlu adanya pembedaan antara pelaku moral dan subjek moral untuk lebih memahami teori ini. Pelaku Moral adalah makhluk yang memiliki kemampuan bertindak secara moral (berupa akal budi, kebebasan dan kemauan), sehingga berkewajiban dan bertanggungjawab atas tindakannya (accountable being). Subjek Moral adalah makhluk yang bisa diperlakukan secara baik atau buruk, dan pelaku moral berkewajiban dan bertanggungjawab terhadapnya, yang menurut teori ini adalah semua organisme hidup dan kelompok organisme tertentu. Intinya adalah semua pelaku moral adalah subjek moral, tetapi tidak semua subjek moral adalah pelaku moral. Kewajiban utama manusia sebagai pelaku moral adalah menghormati dan menghargai alam (respect for nature) yang dapat diwujudkan dalam kewajiban-kewajiban :
·         Tidak melakukan sesuatu yang merugikan alam dan isinya (Nonmaleficence atau Noharm )
·         Tidak mencampuri (Non-Interference)
·         Tidak membatasi dan menghambat kebebasan organisme berkembang dan hidup secara leluasa di alam sesuai hakikatnya
·         Membiarkan organisme berkembang sesuai hakikatnya
·         Kesetiaan (terhadap binatang tertentu untuk bijaga dan dibiarkan hidup di alam bebas
·         Kewajiban restitutif dan keadilan retributif

b.       Etika Bumi (Land Ethic) oleh Aldo Leopold
Terdiri dari dua prinsip yaitu :
·         “A thing is right when it tends to preserve the integrity, stability and beauty og the biotic community. It is wrong when it tends otherwise” Segala sesuatu di alam semesta ini (semacam suatu komunitas biotis) mempunyai nilai pada dirinya sendiri, terlepas dari apakah berkaitan dengan dan menunjang kehidupan manusia atau tidak.
·         Gagasan memperluas pemberlakuan etika
Komunitas moral yang dikenal dalam kehidupan manusia diperluas mencakup alam semesta secara keseluruhan. Perluasan tersebut mencakup perlakuan manusia terhadap alam dan segala isinya, serta sampai kepada kemungkinan evolusioner dan keniscayaan ekologis. Merupakan suatu holisme karena yang jadi fokus utama adalah bumi, komunitas biotis dan bukan individu spesies atau makhluk hidup di dalamnya. Ada semacam piramida yang disebut piramida bumi yang merupakan suatu rantai yang kompleks seakan tdak teratur, tetapi stsebuabilitas sistem tersebut membuktikan bahwa rantai makanan merupakan struktur yang sangat rapi.

c.        Anti-Spesiesme
Teori ini menuntut perlakuan yang sama bagi semua makhluk hidup, karena alasan semuanya mempunyai kehidupan. Keberlakuan prinsip moral perlakuan yang sama (equal treatment). Anti-spesiesme membela kepentingan dan kelangsungan hidup spesies yang ada di bumi. Dasar pertmbangan teori ini adalah aspek sentience, yaitu kemampuan untuk merasakan sakit, sedih, gembira dan seterusnya. Inti dari teori biosentris adalah dan seluruh kehidupan di dalamnya, diberi bobot dan pertimbangan moral yang sama.

2.4.3    EKOSENTRISME (Deep Eernvirontmental Ethics)
Ekosentrisme merupakan kelanjutan dari teori etika lingkungan biosentrisme. Oleh karenanya teori ini sering disamakan begitu saja karena terdapat banyak kesamaan. Yaitu pada penekanannya atas pendobrakan cara pandang antroposentrisme yang membatasi pemberlakuan etika hanya pada komunitas manusia. Keduanya memperluas pemberlakuan etika untuk komunitas yang lebih luas. Pada biosentrisme, konsep etika dibatasi pada komunitas yang hidup (biotis), seperti tumbuhan dan hewan. Sedang pada ekosentrisme, pemakaian etika diperluas untuk komunitas ekosistem seluruhnya (biotis dan a-biotis).
Biosentrisme dan ekosentrisme, memandang manusia tidak hanya sebagai makhluk sosial (zoon politikon). Manusia pertama-tama harus dipahami sebagai makhluk biologis, makhluk ekologis. Dunia bukan sebagai kumpulan objek-objek yang terpisah, tetapi sebagai suatu jaringan fenomena yang saling berhubungan dan saling tergantung satu sama lain secara fundamental. Etika ini mengakui nilai intrinsik semua makhluk dan memandang manusia tak lebih dari salah satu bagian dalam jaringan kehidupan.
Bagaimanapun keseluruhan organisme kehidupan di alam ini layak dan harus dijaga. Holocaust ekologis telah membawa dampak pada setiap dimensi kehidupan ini. Ekosentrisme tidak menempatkan seluruh unsur di alam ini dalam kedudukan yang hierarkis dan atau sub-ordinasi. Melainkan sebuah kesatuan organis yang saling bergantung satu sama lain.

a.        Deep Ecology
Salah satu bentuk etika ekosentrisme ini adalah etika lingkungan yang sekarang ini dikenal sebagai Deep Ecology. Sebagai istilah, Deep Ecology pertama kali diperkenalkan oleh Arne Naess, seorang filsuf Norwegia, pada 1973, di mana prinsip moral yang dikembangkan adalah menyangkut seluruh komunitas ekologis. Istilah Deep Ecology sendiri digunakan untuk menjelaskan kepedulian manusia terhadap lingkungannya. Kepedulian yang ditujukan dengan membuat pertanyaan-pertanyaan yang sangat mendalam dan mendasar, ketika dia akan melakukan suatu tindakan. Kesadaran ekologis yang mendalam adalah kesadaran spiritual atau religius, karena ketika konsep tentang jiwa manusia dimengerti sebagai pola kesadaran di mana individu merasakan suatu rasa memiliki, dari rasa keberhubungan, kepada kosmos sebagai suatu keseluruhan, maka jelaslah bahwa kesadaran ekologis bersifat spiritual dalam esensinya yang terdalam. Oleh karena itu pandangan baru realitas yang didasarkan pada kesadaran ekologis yang mendalam konsisten dengan apa yang disebut filsafat abadi yang berasal dari tradisi-tradisi spiritual, baik spiritualitas para mistikus Kristen, Budhis atau filsafat dan kosmologis yang mendasari tradisi-tradisi Amerika Pribumi.

b.     Prinsip-prinsip Gerakan Lingkungan

·         Biospheric egalitarianism-in principle, yaitu pengakuan semua organisme dan makhluk hidup adalah anggota berstatus sama dari suatu keseluruhan terkait sehingga bermartabat sama.
·         Non-antroposentrisme, yaitu manusia merupakan bagian dari alam, bukan di atas atau terpisah dari alam.
·         Realisasi diri (self-realization), realisasi diri manusia sebagai ecological self yaitu pemenuhan dan perwujudan semua kemampuannya yang beraneka ragam sebagai makhluk ekologis.
·         Pengakuan dan penghargaan terhadap keanekaragaman dan kompleksitas ekologis dalam suatu hubungan simbiosis.
·         Perlu perubahan politik menuju ecopolitics, yaitu mencapai suatu keberlanjutan ekologi secara luas yang berjangkauan jauh ke depan.

c.      Sikap DE terhadapa Beberapa Isu Lingkungan
·       Isu Pencemaran
Prioritas DE adalah mengatasi sebab utama yang paling dalam dari pencemaran, dan bukan sekedar dampak superfisial dan jangka pendek.
·       Isu Sumber daya Alam
Alam dan kekayaan yang terkandung didalamnya tidak direduksi dan dilihat semata-semata dari segi nilai dan fungsi ekonomis, tetapi juga nilai dan fungsi sosial, budaya, spiritual dan religius, medis dan biologis.
·       Isu Jumlah Penduduk
Pengurangan penduduk adalah yang menjadi prioritas utama.
·       Isu Keberagaman Budaya dan Teknologi Tepat Guna
DE berusaha melindungi keberagaman budaya dari invansi masyarakat industri maju, karena keberagaman budaya dilihat sebagai analog dan berkaitan dengan keragaman dan kekayaan bentuk-bentuk kehidupan.
·       Pendidikan dan Penelitian Ilmiah
Prioritas sialihkan dari ”ilmu-ilmu keras ” ke ”ilmu-ilmu lunak”, khususnya enhetahuan budaya, filsafat dan etika serta penggalian kearifan tradisional untuk memperkaya wawasan masyarkat modern.

2.5       Prinsip Etika di Lingkungan Hidup
Prinsip-prinsip Etika Lingkungan :
a.      Sikap Hormat terhadap Alam
b.     Prinsip Tanggung Jawab
c.      Prinsip Solidaritas
d.     Prinsip Kasih Sayang dan Kepedulian
e.      Prinsip “No Harm”
f.       Prinsip Hidup Sederhana dan Selaras dengan AlaM
g.     Prinsip Keadilan
h.     Prinsip Demokrasi
i.       Prinsip Integritas Moral

Lengkapnya bisa di donwload : PPT dan PDF

0 komentar:

Posting Komentar