PERSPEKTIF ETIKA BISNIS
DALAM AJARAN ISLAM DAN BARAT SERTA ETIKA PROFESI
2.1 Tingkatan Manajemen
2.1.1 Immoral Manajemen
Immoral manajemen merupakan tingkatan terendah dari model manajemen
dalam menerapkan prinsip-prinsip etika bisnis. Manajer yang memiliki manajemen
tipe ini pada umumnya sama sekali tidak mengindahkan apa yang dimaksud dengan
moralitas, baik dalam internal organisasinya maupun bagaimana dia menjalankan
aktivitas bisnisnya. Para pelaku bisnis yang tergolong pada tipe ini, biasanya
memanfaatkan kelemahan-kelemahan dan kelengahan-kelengahan dalam komunitas
untuk kepentingan dan keuntungan diri sendiri, baik secara individu atau
kelompok mereka. Kelompok manajemen ini selalu menghindari diri dari yang
disebut etika. Bahkan hukum dianggap sebagai batu sandungan dalam menjalankan
bisnisnya.
2.1.2 Amoral Manajemen
Tingkatan kedua dalam aplikasi etika dan moralitas dalam manajemen
adalah amoral manajemen. Berbeda dengan immoral manajemen, manajer dengan tipe
manajemen seperti ini sebenarnya bukan tidak tahu sama sekali etika atau moralitas.
Ada dua jenis lain manajemen tipe amoral ini, yaitu Pertama, manajer yang tidak
sengaja berbuat amoral (unintentional amoral manager). Tipe ini adalah para
manajer yang dianggap kurang peka, bahwa dalam segala keputusan bisnis yang
diperbuat sebenarnya langsung atau tidak langsung akan memberikan efek pada
pihak lain. Oleh karena itu, mereka akan menjalankan bisnisnya tanpa memikirkan
apakah aktivitas bisnisnya sudah memiliki dimensi etika atau belum. Manajer
tipe ini mungkin saja punya niat baik, namun mereka tidak bisa melihat bahwa
keputusan dan aktivitas bisnis mereka apakah merugikan pihak lain atau tidak.
Tipikal manajer seperti ini biasanya lebih berorientasi hanya pada
hukum yang berlaku, dan menjadikan hukum sebagai pedoman dalam beraktivitas.
Kedua, tipe manajer yang sengaja berbuat amoral. Manajemen dengan pola ini
sebenarnya memahami ada aturan dan etika yang harus dijalankan, namun terkadang
secara sengaja melanggar etika tersebut berdasarkan pertimbangan-pertimbangan
bisnis mereka, misalnya ingin melakukan efisiensi dan lain-lain. Namun manajer
tipe ini terkadang berpandangan bahwa etika hanya berlaku bagi kehidupan
pribadi kita, tidak untuk bisnis. Mereka percaya bahwa aktivitas bisnis berada
di luar dari pertimbangan-pertimbangan etika dan moralitas.
2.1.3 Moral Manajemen
Tingkatan tertinggi dari penerapan nilai-nilai etika atau moralitas
dalam bisnis adalah moral manajemen. Dalam moral manajemen, nilai-nilai etika
dan moralitas diletakkan pada level standar tertinggi dari segala bentuk
prilaku dan aktivitas bisnisnya. Manajer yang termasuk dalam tipe ini hanya
menerima dan mematuhi aturan-aturan yang berlaku namun juga terbiasa meletakkan
prinsip-prinsip etika dalam kepemimpinannya. Seorang manajer yang termasuk
dalam tipe ini menginginkan keuntungan dalam bisnisnya, tapi hanya jika bisnis
yang dijalankannya secara legal dan juga tidak melanggar etika yang ada dalam
komunitas, seperti keadilan, kejujuran, dan semangat untuk mematuhi hukum yang
berlaku. Hukum bagi mereka dilihat sebagai minimum etika yang harus mereka
patuhi, sehingga aktifitas dan tujuan bisnisnya akan diarahkan untuk melebihi
dari apa yang disebut sebagai tuntutan hukum. Manajer yang bermoral selalu
melihat dan menggunakan prinsip-prinsip etika seperti, keadilan, kebenaran, dan
aturan-aturan emas (golden rule) sebagai pedoman dalam segala keputusan bisnis
yang diambilnya.
2.2
Agama, Filosofi, Budaya dan Hukum
Bermula dari buku Max
Weber The Protestant Ethic and Spirit of Capitalism (1904-5) menjadi tegak awal
keyakinan orang adanya hubungan erat antara ajaran agama dan etika kerja, atau
anatara penerapan ajaran agama dengan pembangunan ekonomi.
Etika sebagai ajaran
baik-buruk, salah-benar, atau ajaran tentang moral khususnya dalam perilaku dan
tindakan-tindakan ekonomi, bersumber terutama dari ajaran agama. Itulah
sebabnya banyak ajaran dan paham dalam ekonomi Barat menunjuk pada kitab Injil
(Bibble), dan etika ekonomi yahudi banyak menunjuk pada Taurat. Demikian pula
etika ekonomi Islam termuat dalam lebih dari seperlima ayat-ayat yang muat
dalam Al-Qur’an.
Prinsip-prinsip
nilai-nilai dasar etika yang ada dalam ketiga agama Nabi Ibrahim ini yaitu :
· Keadilan : Kejujuran mempergunakan kekuatan untuk menjaga
kebenaran.
· Saling menghormati : Cinta dan perhatian terhadap orang lain
· Pelayanan : Manusia hanya pelayan, pengawa, sumber-sumber alam
· Kejujuran : Kejujuran dan sikap dapat dipercaya dalam semua
hubungan manusia, dan integritas yang kuat.
Etika bisnis menurut
ajaran Islam digali langsung dari Al Quran dan Hadits Nabi. Dalam ajaran Islam,
etika bisnis dalam Islam menekakan pada empat hal Yaitu : Kesatuan (Unity),
Keseimbangan (Equilibrium), Kebebasan (FreeWill) dan tanggung jawab
(Responsibility). Etika bisnis Islam menjunjung tinggi semangat saling percaya,
kejujuran dan keadilan, sedangkan antara pemilik perusahaan dan karyawan
berkembangan semangat kekeluargaan (brotherhood). Misalnya dalam perusahaan
yang islami gaji karyawan dapat diturunkan jika perusahaan benar-benar merugi
dan karyawan juga mendapat bonus jika keuntungan perusahaan meningkat. Buruh
muda yang masing tinggal bersama orang tua dapat dibayar lebih rendah,
sedangkan yang sudah berkeluarga dan punya anak dapat dibayar lebih tinggi
disbanding rekan-rekannya yang muda.
2.2.2
Filosofi
Salah
satu sumber nilai-nilai etika yang juga menjadi acuan dalam pengambilan
keputusan oleh manusaia adalah ajaran-ajaran Filosofi. Ajaran filosofi tersebut
bersumber dari ajaran-ajaran yang diwariskan dari ajaran-ajaran yang sudah
diajarkan dan berkembang lebih dari 2000 tahun yang lalu. Ajaran ini sangat
komplek yang menjadi tradisi klasik yang bersumber dari berbagai pemikiran para
fisuf-filsuf saat ini. Ajaran ini terus berkembanga dari tahun ke tahun.
Di
Negara barat, ajaran filosofi yang paling berkembang dimulai ketika zaman
Yunani kuno pada abd ke 7 diantaranya Socrates (470 Sm-399 SM) Socrate percaya
bahwa manusia ada untu suatu tujuan, dan bahwa salah dan benar memainkan
peranan yang penting dalam mendefinisikan hubungan seseorang dengan lingkungan
dan sesamanya sebagai seorang pengajar, Socrates dikenang karena keahliannya
dalam berbicara dan kepandaian pemikirannya. Socretes percaya bahwa kebaikan
berasal dari pengetahuan diri, dan bahwa manusia pada dasarnya adalah jujur,
dan bahwa kejahatan merupakan suatu upaya akibat salah pengarahan yang
membebani kondisi seseorang. Pepatah yang terkenal mengatakan. : “Kenalilah
dirimu” dia yang memperkanalkan ide-ide bahwa hukum moral lebih inggi daripada
hukum manusia.
2.2.3
Budaya dan Hukum
Setiap transisi budaya antara satu generasi ke generasi
berikutnya mewujudkan nilai-nilai, aturan baru serta standar-standar yang
kemudian akan diterima dalam komunitas tersebut, selanjutnya akan terwujud
dalam perilaku. Artinya orang akan mencoba mendekatkan dirinya atau beradaptasi
dengan perkembangan nilai-nilai yang ada dalam komunitas tersebut, dimana
nilai-nilai itu tidak lain adalah budaya yang hadir karna adanya budaya
pengetahuan manusia dalam upayanya untuk menginterpentasikan lingkungannya
sehingga bisa hidup.
Hukum adalah perangkat aturan – aturan
yang dibuat oleh pemerintah dalam rangka untuk menjamin kelangsungan hidup
berbangsa dan bernegara. Hukum menentukan ekspektasi – ekspektasi etika yang
diharapkan dalam komunitas dan mencoba mengatur serta mendorong pada perbaikan
masalah – masalah yang dipandang buruk atau tidak baik dalam komunitas.
Sebenarnya bila kita berharap bahwa dengan hokum dapat mengantisipasi semua
tindakan pelanggaran sudah pasti ini menjadi suatu yang mustahil. Karena
biasanya hukum dibuat setelah pelanggaran yang terjadi dalam komunitas.
Pada umumnya
para pebisnis akan lebih banyak menggunakan perangkat hukum sebagai cermin
etika mereka dalam melaksanakan aktivitasnya. Karena hukum dipandang suatu
perangkat yang memiliki bentuk hukuman/punishment yang paling jelas
dibandingkan sumber-sumber etika yang lain, yang cenderung lebih pada hukuman
yang sifatnya abstrak, seperti mendapat malu, dosa dan lain-lain. Hal ini sah-sah
saja, tetapi ini akan sangat berbahaya bagi kelangsungan bisnis itu sendiri.
Boatright (2003) menyebutkan ada beberapa alasan yang bias menjelaskan hal ini
yaitu :
· Hukum tidaklah cukup untuk mengatur semua aspek aktivitas dalam
bisnis, sebab tidak semua yang tak bermoral adalah tidak legal. Beberapa etika
dalam bisnis konsen pada hubungan interpersonal kerja dan hubungan dengan para
pesaing, yang sangat sulit diatur melalui undang-undang. Contohnya adalah kasus
persaingan para industri mie instan seperti yang dijelaskan pada bab
sebelumnya.
· Karena hukum selalu dibuat setelah pelanggaran terjadi, sehinga
kita bias menyebut bahwa hukum selalun lambat dikembangkan dibandingkan segala
masalah-masalah etika yang timbul. Sisi lainnya adalah biasanya untuk membuat
suatu undang-undang atau aturan hukum akan membutuhkan waktu panjang juga.
Undang-undang tidak bisa dibuat begitu saja ketika ada pelanggaran yang
terjadi, tetapi akan melalui banyak tahap apalagi harus melalui proses juridis,
dan terkadang banyak pertimbangan-pertimbangan ketika pembuatan undang-undang
tersebut. Akhirnya banyak nilai-nilai yang ingin ditegakkan dalam pembuatan
undang-undang tersebut bisa melenceng dari tujuan utamanya. Sebagai contoh
adalah undang-undang tentang hak cipta terjadi diindonesia. Sudah berpuluh
tahun lamanya pelanggaran hak cipta terjadi diindonesia, tetapi
undang-undangnya baru berbentuk pada tahun 2002 kemarin. Begitu juga dengan
kasus ponografi terjadi diindonesia, hingga saat ini pun belum juga ditemui
kesepakatan bagaimana bentuk undang-undang ponografi itu sebenarnya
diindonesia.
· Terkadang hukum atau undang-undang itu sendiri selalu menerapkan
konsep-konsep moral yang tidak mudah untuk didefinisikan sehingga menjadi
sangat sulit pada suatu ketika untuk memahami undang-undang tanpa
mempertimbangkan masalah-masalah moral.
· Hukum sering tidak pasti. Walaupun suatu kejadian atau aktivitas
dianggap legal, serta hukum/undang-undang haruslah diputuskan melalui
pengadilan, dan dalam membuat keputusan, pengadilan selalu mengacu pada
pertimbangan-pertimbangan moral. Banyak orang juga berfikir bahwa selama
tindakannya tidak melanggar hukum adalah suatu yang benar walaupun apa yang
dilakukannya bisa dianggap tiadak bermoral.
· Hukum kadang tidak bisa diandalkan, apalagi jika bisnis itu berada
pada suatu wilayah atau dari daerah yang tingkat penegakan hukumnya sangat
rendah. Contohnya, pada masa orde baru, pembentukan peraturan dan undang-undang
cenderung bergantung pada penguasa, sehingga undang-undang atau aturan saat itu
cenderung untuk menguntungkan pihak-pihak tertentu yang dianggap memiliki
hubungan erat denagn pemerintah pada saat itu orang-orang yang menjadi
kroni-kroni penguasa bisa menjadi orang yang kebal hukum dan tidak bisa dijerat
dan dijatuhi hukuman.
2.3
Leadership
2.3.1 Pengertian Leadership
Leadership atau
kepemimpinan adalah suatu seni, fungsi, proses dan kemampuan dalam mempengaruhi
dan mengarahkan orang-orang dengan cara kepatuhan, kepercayaan dan kesetiaan
agar berbuat sesuatu sesuai dengan tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan.
Berikut definisi dan pengertian leadership dari
beberapa sumber buku:
·
Menurut
Purwanto (2007), leadership adalah permulaan dari suatu struktur atau prosedur
baru untuk mencapai tujuan-tujuan dan sasaran organisasi atau untuk mengubah
tujuan-tujuan dan sasaran organisasi.
·
Menurut
Zakub (1984), leadership adalah menstimulasi, memobilisasi, mengarahkan,
mengkoordinasi motif-motif dan kesetiaan orang-orang yang terlibat dalam usaha
bersama.
·
Menurut
Slamet (2002), leadership adalah suatu kemampuan, proses, atau fungsi, pada
umumnya untuk mempengaruhi orang-orang agar berbuat sesuatu dalam rangka
mencapai tujuan tertentu.
·
Menurut
Rivai (2004), leadership adalah seni mempengaruhi dan mengarahkan orang dengan
cara kepatuhan, kepercayaan, kehormatan, dan kerjasama yang bersemangat dalam
mencapai tujuan bersama.
·
Menurut
Baharudin dan Umiarso (2012), leadership adalah suatu kegiatan mempengaruhi
orang lain agar orang tersebut mau bekerja sama (mengolaborasi dan
mengolaborasikan potensinya) untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
2.3.2 Unsur-unsur Leadership
Dalam Leadership atau kepemimpinan memiliki
tiga unsur utama, yaitu:
1.
Pengikut/followership.
Adanya kepemimpinan ini disebabkan adanya pengikut atau followership. Seseorang
menjadi pemimpin karena ada beberapa orang yang berkehendak untuk mengikuti
yaitu bertindak sesuai dengan keinginan pemimpinnya.
2.
Tujuan.
Kepemimpinan timbul karena adanya kepengikutan yang melakukan kerja sama dalam
rangkai mencapai tujuan yang telah ditentukan bersama. Dengan adanya
tujuan-tujuan tertentu timbul kerja sama dan timbul pula pemimpin untuk
mengaturnya.
3.
Kegiatan
mempengaruhi. Ini berarti bahwa seorang pimpinan dalam aktivitasnya membimbing.
Mengontrol dan mengarahkan tindakan orang lain untuk menuju suatu sasaran
tertentu.
Menurut Vietzal dkk
(2013), seorang leadership dalam suatu organisasi harus memiliki unsur dan
kriteria tertentu sehingga layak disebut sebagai pemimpin, yaitu:
1.
Pengaruh.
Seorang pemimpin adalah seorang yang memiliki orang-orang yang mendukungnya
yang turut membesarkan nama sang pimpinan. Pengaruh itu menjadikan sang
pemimpin diikuti dan membuat orang ain tunduk pada apa yang dikatakan sang
pemimpin.
2.
Kekuasaan/power.
Seorang pemimpin umumnya diikuti oleh orang lain karena ia memiliki kekuasaan
yang membuat orang lain menghargai keberadaannya. Tanpa kekuasaan atau kekuatan
yang dimiliki sang pemimpin tentunya tidak ada orang yang mau menjadi
pendukungnya. Kekuasaan dan kekuatan yang dimiliki seorang pemimpin ini menjadikan
orang lain akan tergantung pada apa yang dimiliki seorang pemimpin, tanpa itu
ia tidak akan bisa berbuat apa-apa. Hubungan ini menjadikan hubungan yang
bersifat simbiosis mutualisme, dimana kedua belah pihak merasa saling
diuntungkan.
3.
Wewenang.
Wewenang adalah hak yang diberikan kepada pemimpin untuk menetapkan sebuah
keputusan dalam melaksanakan suatu hal/kebijakan. Wewenang disini juga dapat
dialihkan kepada karyawan oleh pimpinan apabila pemimpin percaya bahwa karyawan
tersebut mampu melaksanakan tugas dan tanggung jawab dengan baik, sehingga
karyawan diberi kepercayaan untuk melaksanakan tanpa perlu campur tangan dari
segi sang pemimpin.
4.
Pengikut.
Seorang pemimpin yang memiliki pengaruh, kekuasaan/power dan wewenang tidak
dapat dikatakan sebagai pemimpin apabila dia tidak memiliki pengikut yang
berada di belakangnya yang memberi dukungan mengikuti apa yang dikatakan
pemimpin.
2.3.3 Fungsi Leadership
Menurut Baharuddin dan Umiarso (2012), terdapat
lima fungsi pokok leadership atau kepemimpinan, yaitu:
1.
Fungsi
Instruktif
Pemimpin
sebagai pengambil keputusan berfungsi memerintahkan pelaksanaannya pada
orang-orang yang dipimpin. Pemimpin sebagai komunikator merupakan pihak yang
menentukan apa (isi perintah), bagaimana (cara mengerjakan perintah), kapan
(waktu memulai, melaksanakan, dan melaporkan hasilnya), dan di mana (tempat
mengerjakan perintah) agar keputusan dapat diwujudkan secara efektif.
2.
Fungsi
Konsultatif
Pemimpin
kerap kali memerlukan bahan pertimbangan yang mengharuskannya berkonsultasi
dengan orang-orang yang dipimpinnya. Konsultasi dapat pula dilakukan melalui
arus sebaliknya, yakni dari orang-orang yang dipimpin kepada pemimpin yang
menetapkan keputusan dan memerintahkan pelaksanaannya. Hal ini berarti fungsi
ini berlangsung dan bersifat komunikasi dua arah, meskipun pelaksanaannya
sangat tergantung pada pihak pemimpin.
3.
Fungsi
Partisipatif
Fungsi
ini berarti kesediaan pemimpin untuk tidak berpangku tangan pada saat-saat
orang yang dipimpin melaksanakan keputusannya. Pemimpin tidak boleh sekedar
mampu membuat keputusan dan memerintahkan pelaksanaannya, tetapi juga ikut
dalam proses pelaksanaannya, dalam batas-batas tidak menggeser dan mengganti
petugas yang bertanggung jawab melaksanakannya.
4.
Fungsi
Delegatif
Fungsi
ini mengharuskan pemimpin memilah-milah tugas pokok organisasinya dan
mengevaluasi yang dapat dan tidak dapat dilimpahkan kepada orang-orang yang
dipercayainya. Fungsi delegasi pada dasarnya berarti kepercayaan. Pemimpin
harus bersedia dan dapat mempercayai orang lain sesuai dengan
posisi/jabatannya.
5.
Fungsi
Pengendalian
Pemimpin
mampu mengatur aktivitas anggotanya secara terarah dan dalam koordinasi yang
efektif sehingga memungkinkan tercapainya tujuan bersama secara maksimal.
2.3.4 Sifat dan Syarat Seorang Leadrship
Menurut Terry (2009),
seorang leadership atau pemimpin yang baik harus memiliki sifat-sifat sebagai
berikut, yaitu:
1.
Energi.
Untuk tercapainya kepemimpinan yang baik memang diperlukan energi yang baik
pula, jasmani maupun rohani. Seorang pemimpin harus sanggup bekerja dalam
jangka panjang dan dalam waktu yang tidak tertentu. Sewaktu-waktu dibutuhkan
tenaganya, ia harus sanggup melaksanakannya mengingat kedudukannya dan
fungsinya. Karena itu kesehatan fisik dan mental benar-benar diperlukan bagi
seorang pemimpin.
2.
Memiliki
stabilitas emosi. Seorang pemimpin yang efektif harus melepaskan dari
berprasangka, kecurigaan terhadap bawahan-bawahannya. Sebaliknya ia harus
tegas, konsekuen dan konsisten dalam tindakan-tindakannya, percaya diri sendiri
dan memiliki jiwa sosial terhadap bawahannya.
3.
Motivasi
pribadi. Keinginannya untuk memimpin harus datang dari dorongan batin
pribadinya sendiri, dan bukan paksaan dari luar dirinya. Kekuatan dari luar
hanya bersifat stimulus saja terhadap keinginan-keinginan untuk menjadi
pemimpin. Hal tersebut tercermin dalam keteguhan pendiriannya, kemauan yang
keras dalam bekerja dan penerapan sifat-sifat pribadi yang baik dalam
pekerjaannya.
4.
Kemahiran
mengadakan komunikasi. Seorang pemimpin harus memiliki kemahiran dalam
menyampaikan gagasan baik secara lisan maupun tulisan. Hal ini sangat penting
bagi pemimpin untuk mendorong maju bawahan, memberikan atau menerima informasi
bagi kemajuan organisasi dan kepentingan bersama.
5.
Kecakapan
mengajar. Sering kita dengar bahwa seorang pemimpin yang baik pada dasarnya
adalah seorang guru yang baik. Mengajar adalah jalan yang terbaik untuk
memajukan orang-orang atas pentingnya tugas-tugas yang dibebankan atau
sebagainya.
6.
Kecakapan
sosial. Seorang pemimpin harus mengetahui benar tentang bawahannya. Ia harus
mempunyai kemampuan untuk bekerja sama dengan bawahan, sehingga mereka
benar-benar memiliki kesetiaan bekerja di bawah kepemimpinan-nya.
7.
Kemampuan
teknis. Meskipun dikatakan bahwa Semakin tinggi tingkat kepemimpinan seseorang,
makin kurang diperlukan kemampuan teknis ini, karena lebih mengutamakan manajerial
skillnya, namun sebenarnya kemampuan teknis ini diperlukan juga. Karena dengan
dimilikinya kemampuan teknis ini seorang pemimpin akan lebih mudah dikoreksi
bila terjadi suatu kesalahan pelaksanaan tugas.
Menurut (Rangkuti, 2009, p3), strategi adalah
alat untuk mencapai tujuan. Tujuan utamanya adalah agar perusahaan dapat
melihat secara obyektif kondisi-kondisi internal dan eksternal, sehingga
perusahaan dapat mengantisipasi perubahan lingkungan eksternal. Dalam hal ini dapat
dibedakan secara jelas fungsi manajemen, konsumen, distributor, dan pesaing.
Jadi, perencanaan strategis penting untuk memperoleh keunggulan bersaing dan
memiliki produk yang sesuai dengan keinginan konsumen dengan dukungan yang
optimal dari sumber daya yang ada. Untuk memahami konsep perencanaan strategis,
kita perlu memahami pengertian konsep mengenai strategi.
Menurut Osborn dalam John Willey dan Sons
(1980:77) menyebutnya sebagai “Tingkat
pencapaian misi organisasi”. Dengan demikian dapatlah disimpulkan yang mana
performance (kinerja) itu merupakan
“Suatu keadaan yang bisa dilihat sebagai gambaran dari hasil sejauh mana
pelaksanaan tugas dapat dilakukan berikut misi organisasi”.
2.5
Karakter Individu
Menurut Panggabean dalam Prasetyo (2008:29), karakteristik individu
merupakan karakter seorang individuyang mempunyai sifat khas sesuai dengan
perwatakan tertentu.
Menurut Robbinsdalam Prasetyo(2008:29), karakteristik individu
adalah cara memandang ke obyek tertentu dan mencoba menafsirkan apa yang
dilihatnya. 13
Menurut Rahman (2013:77), karakteristikindividu adalah ciri khas
yang menunjukkanperbedaan seseorang tentang motivasi,inisiatif, kemampuan untuk
tetap tegarmenghadapi tugas sampai tuntas taumemecahkan masalah atau bagaimanamenyesuaikan
perubahan yang terkait erat dengan lingkungan yang mempengaruhikinerja
individu.Dari beberapa pendapat ahli diatas apat disimpulkan bahwa faktor
individu atau individual haracteristics(karakteristik individu) adalah karakter
seorang individu atau ciri-ciriseseorang yang menggambarkan keadaan individu
tersebut yang sebenarnya dan membedakannya dari individu yang lain.
2.6
Budaya Organisasi
Menurut Robbins, budaya organisasi cukup didefenisikan sebagai
sebuah persepsi umum yang dipegang teguh oleh para anggota organisasi dan
menjadi sebuah sistem yang memiliki kebersamaan pengertian (dalam 2005:531)..
Robbins (2002:279) juga menjelaskan bahwa
budaya organisasi menyangkut bagaimana para anggota melihat organisasi
tersebut, bukan menyangkut apakah para anggota organisasi menyukainya atau
tidak, karena para anggota menyerap budaya organisasi berdasarkan dari apa yang
mereka lihat atau dengar di dalam organisasi. Dan anggota organisasi cenderung
mempersepsikan sama tentang
budaya dalam organisasi tersebut
meskipun mereka berasal dari latar belakang yang berbeda ataupun bekerja pada
tingkat-tingkat keahlian yang berlainan dalam organisasi tersebut.
0 komentar:
Posting Komentar