Rabu, 13 Mei 2020


PERSPEKTIF ETIKA BISNIS DALAM AJARAN ISLAM DAN BARAT SERTA ETIKA PROFESI

2.1 Tingkatan Manajemen
2.1.1    Immoral Manajemen
Immoral manajemen merupakan tingkatan terendah dari model manajemen dalam menerapkan prinsip-prinsip etika bisnis. Manajer yang memiliki manajemen tipe ini pada umumnya sama sekali tidak mengindahkan apa yang dimaksud dengan moralitas, baik dalam internal organisasinya maupun bagaimana dia menjalankan aktivitas bisnisnya. Para pelaku bisnis yang tergolong pada tipe ini, biasanya memanfaatkan kelemahan-kelemahan dan kelengahan-kelengahan dalam komunitas untuk kepentingan dan keuntungan diri sendiri, baik secara individu atau kelompok mereka. Kelompok manajemen ini selalu menghindari diri dari yang disebut etika. Bahkan hukum dianggap sebagai batu sandungan dalam menjalankan bisnisnya.

2.1.2    Amoral Manajemen
Tingkatan kedua dalam aplikasi etika dan moralitas dalam manajemen adalah amoral manajemen. Berbeda dengan immoral manajemen, manajer dengan tipe manajemen seperti ini sebenarnya bukan tidak tahu sama sekali etika atau moralitas. Ada dua jenis lain manajemen tipe amoral ini, yaitu Pertama, manajer yang tidak sengaja berbuat amoral (unintentional amoral manager). Tipe ini adalah para manajer yang dianggap kurang peka, bahwa dalam segala keputusan bisnis yang diperbuat sebenarnya langsung atau tidak langsung akan memberikan efek pada pihak lain. Oleh karena itu, mereka akan menjalankan bisnisnya tanpa memikirkan apakah aktivitas bisnisnya sudah memiliki dimensi etika atau belum. Manajer tipe ini mungkin saja punya niat baik, namun mereka tidak bisa melihat bahwa keputusan dan aktivitas bisnis mereka apakah merugikan pihak lain atau tidak.
Tipikal manajer seperti ini biasanya lebih berorientasi hanya pada hukum yang berlaku, dan menjadikan hukum sebagai pedoman dalam beraktivitas. Kedua, tipe manajer yang sengaja berbuat amoral. Manajemen dengan pola ini sebenarnya memahami ada aturan dan etika yang harus dijalankan, namun terkadang secara sengaja melanggar etika tersebut berdasarkan pertimbangan-pertimbangan bisnis mereka, misalnya ingin melakukan efisiensi dan lain-lain. Namun manajer tipe ini terkadang berpandangan bahwa etika hanya berlaku bagi kehidupan pribadi kita, tidak untuk bisnis. Mereka percaya bahwa aktivitas bisnis berada di luar dari pertimbangan-pertimbangan etika dan moralitas.

2.1.3    Moral Manajemen
Tingkatan tertinggi dari penerapan nilai-nilai etika atau moralitas dalam bisnis adalah moral manajemen. Dalam moral manajemen, nilai-nilai etika dan moralitas diletakkan pada level standar tertinggi dari segala bentuk prilaku dan aktivitas bisnisnya. Manajer yang termasuk dalam tipe ini hanya menerima dan mematuhi aturan-aturan yang berlaku namun juga terbiasa meletakkan prinsip-prinsip etika dalam kepemimpinannya. Seorang manajer yang termasuk dalam tipe ini menginginkan keuntungan dalam bisnisnya, tapi hanya jika bisnis yang dijalankannya secara legal dan juga tidak melanggar etika yang ada dalam komunitas, seperti keadilan, kejujuran, dan semangat untuk mematuhi hukum yang berlaku. Hukum bagi mereka dilihat sebagai minimum etika yang harus mereka patuhi, sehingga aktifitas dan tujuan bisnisnya akan diarahkan untuk melebihi dari apa yang disebut sebagai tuntutan hukum. Manajer yang bermoral selalu melihat dan menggunakan prinsip-prinsip etika seperti, keadilan, kebenaran, dan aturan-aturan emas (golden rule) sebagai pedoman dalam segala keputusan bisnis yang diambilnya.

2.2            Agama, Filosofi, Budaya dan Hukum
Bermula dari buku Max Weber The Protestant Ethic and Spirit of Capitalism (1904-5) menjadi tegak awal keyakinan orang adanya hubungan erat antara ajaran agama dan etika kerja, atau anatara penerapan ajaran agama dengan pembangunan ekonomi.
Etika sebagai ajaran baik-buruk, salah-benar, atau ajaran tentang moral khususnya dalam perilaku dan tindakan-tindakan ekonomi, bersumber terutama dari ajaran agama. Itulah sebabnya banyak ajaran dan paham dalam ekonomi Barat menunjuk pada kitab Injil (Bibble), dan etika ekonomi yahudi banyak menunjuk pada Taurat. Demikian pula etika ekonomi Islam termuat dalam lebih dari seperlima ayat-ayat yang muat dalam Al-Qur’an.
Prinsip-prinsip nilai-nilai dasar etika yang ada dalam ketiga agama Nabi Ibrahim ini yaitu :
·       Keadilan : Kejujuran mempergunakan kekuatan untuk menjaga kebenaran.
·       Saling menghormati : Cinta dan perhatian terhadap orang lain
·       Pelayanan : Manusia hanya pelayan, pengawa, sumber-sumber alam
·       Kejujuran : Kejujuran dan sikap dapat dipercaya dalam semua hubungan manusia, dan integritas yang kuat.
Etika bisnis menurut ajaran Islam digali langsung dari Al Quran dan Hadits Nabi. Dalam ajaran Islam, etika bisnis dalam Islam menekakan pada empat hal Yaitu : Kesatuan (Unity), Keseimbangan (Equilibrium), Kebebasan (FreeWill) dan tanggung jawab (Responsibility). Etika bisnis Islam menjunjung tinggi semangat saling percaya, kejujuran dan keadilan, sedangkan antara pemilik perusahaan dan karyawan berkembangan semangat kekeluargaan (brotherhood). Misalnya dalam perusahaan yang islami gaji karyawan dapat diturunkan jika perusahaan benar-benar merugi dan karyawan juga mendapat bonus jika keuntungan perusahaan meningkat. Buruh muda yang masing tinggal bersama orang tua dapat dibayar lebih rendah, sedangkan yang sudah berkeluarga dan punya anak dapat dibayar lebih tinggi disbanding rekan-rekannya yang muda.

2.2.2       Filosofi
Salah satu sumber nilai-nilai etika yang juga menjadi acuan dalam pengambilan keputusan oleh manusaia adalah ajaran-ajaran Filosofi. Ajaran filosofi tersebut bersumber dari ajaran-ajaran yang diwariskan dari ajaran-ajaran yang sudah diajarkan dan berkembang lebih dari 2000 tahun yang lalu. Ajaran ini sangat komplek yang menjadi tradisi klasik yang bersumber dari berbagai pemikiran para fisuf-filsuf saat ini. Ajaran ini terus berkembanga dari tahun ke tahun.
Di Negara barat, ajaran filosofi yang paling berkembang dimulai ketika zaman Yunani kuno pada abd ke 7 diantaranya Socrates (470 Sm-399 SM) Socrate percaya bahwa manusia ada untu suatu tujuan, dan bahwa salah dan benar memainkan peranan yang penting dalam mendefinisikan hubungan seseorang dengan lingkungan dan sesamanya sebagai seorang pengajar, Socrates dikenang karena keahliannya dalam berbicara dan kepandaian pemikirannya. Socretes percaya bahwa kebaikan berasal dari pengetahuan diri, dan bahwa manusia pada dasarnya adalah jujur, dan bahwa kejahatan merupakan suatu upaya akibat salah pengarahan yang membebani kondisi seseorang. Pepatah yang terkenal mengatakan. : “Kenalilah dirimu” dia yang memperkanalkan ide-ide bahwa hukum moral lebih inggi daripada hukum manusia.

2.2.3       Budaya dan Hukum
Setiap transisi budaya antara satu generasi ke generasi berikutnya mewujudkan nilai-nilai, aturan baru serta standar-standar yang kemudian akan diterima dalam komunitas tersebut, selanjutnya akan terwujud dalam perilaku. Artinya orang akan mencoba mendekatkan dirinya atau beradaptasi dengan perkembangan nilai-nilai yang ada dalam komunitas tersebut, dimana nilai-nilai itu tidak lain adalah budaya yang hadir karna adanya budaya pengetahuan manusia dalam upayanya untuk menginterpentasikan lingkungannya sehingga bisa hidup.
Hukum adalah perangkat aturan – aturan yang dibuat oleh pemerintah dalam rangka untuk menjamin kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara. Hukum menentukan ekspektasi – ekspektasi etika yang diharapkan dalam komunitas dan mencoba mengatur serta mendorong pada perbaikan masalah – masalah yang dipandang buruk atau tidak baik dalam komunitas. Sebenarnya bila kita berharap bahwa dengan hokum dapat mengantisipasi semua tindakan pelanggaran sudah pasti ini menjadi suatu yang mustahil. Karena biasanya hukum dibuat setelah pelanggaran yang terjadi dalam komunitas.
Pada umumnya para pebisnis akan lebih banyak menggunakan perangkat hukum sebagai cermin etika mereka dalam melaksanakan aktivitasnya. Karena hukum dipandang suatu perangkat yang memiliki bentuk hukuman/punishment yang paling jelas dibandingkan sumber-sumber etika yang lain, yang cenderung lebih pada hukuman yang sifatnya abstrak, seperti mendapat malu, dosa dan lain-lain. Hal ini sah-sah saja, tetapi ini akan sangat berbahaya bagi kelangsungan bisnis itu sendiri. Boatright (2003) menyebutkan ada beberapa alasan yang bias menjelaskan hal ini yaitu :
·       Hukum tidaklah cukup untuk mengatur semua aspek aktivitas dalam bisnis, sebab tidak semua yang tak bermoral adalah tidak legal. Beberapa etika dalam bisnis konsen pada hubungan interpersonal kerja dan hubungan dengan para pesaing, yang sangat sulit diatur melalui undang-undang. Contohnya adalah kasus persaingan para industri mie instan seperti yang dijelaskan pada bab sebelumnya.
·       Karena hukum selalu dibuat setelah pelanggaran terjadi, sehinga kita bias menyebut bahwa hukum selalun lambat dikembangkan dibandingkan segala masalah-masalah etika yang timbul. Sisi lainnya adalah biasanya untuk membuat suatu undang-undang atau aturan hukum akan membutuhkan waktu panjang juga. Undang-undang tidak bisa dibuat begitu saja ketika ada pelanggaran yang terjadi, tetapi akan melalui banyak tahap apalagi harus melalui proses juridis, dan terkadang banyak pertimbangan-pertimbangan ketika pembuatan undang-undang tersebut. Akhirnya banyak nilai-nilai yang ingin ditegakkan dalam pembuatan undang-undang tersebut bisa melenceng dari tujuan utamanya. Sebagai contoh adalah undang-undang tentang hak cipta terjadi diindonesia. Sudah berpuluh tahun lamanya pelanggaran hak cipta terjadi diindonesia, tetapi undang-undangnya baru berbentuk pada tahun 2002 kemarin. Begitu juga dengan kasus ponografi terjadi diindonesia, hingga saat ini pun belum juga ditemui kesepakatan bagaimana bentuk undang-undang ponografi itu sebenarnya diindonesia.
·       Terkadang hukum atau undang-undang itu sendiri selalu menerapkan konsep-konsep moral yang tidak mudah untuk didefinisikan sehingga menjadi sangat sulit pada suatu ketika untuk memahami undang-undang tanpa mempertimbangkan masalah-masalah moral.
·       Hukum sering tidak pasti. Walaupun suatu kejadian atau aktivitas dianggap legal, serta hukum/undang-undang haruslah diputuskan melalui pengadilan, dan dalam membuat keputusan, pengadilan selalu mengacu pada pertimbangan-pertimbangan moral. Banyak orang juga berfikir bahwa selama tindakannya tidak melanggar hukum adalah suatu yang benar walaupun apa yang dilakukannya bisa dianggap tiadak bermoral.
·       Hukum kadang tidak bisa diandalkan, apalagi jika bisnis itu berada pada suatu wilayah atau dari daerah yang tingkat penegakan hukumnya sangat rendah. Contohnya, pada masa orde baru, pembentukan peraturan dan undang-undang cenderung bergantung pada penguasa, sehingga undang-undang atau aturan saat itu cenderung untuk menguntungkan pihak-pihak tertentu yang dianggap memiliki hubungan erat denagn pemerintah pada saat itu orang-orang yang menjadi kroni-kroni penguasa bisa menjadi orang yang kebal hukum dan tidak bisa dijerat dan dijatuhi hukuman.

2.3            Leadership
2.3.1    Pengertian Leadership
Leadership atau kepemimpinan adalah suatu seni, fungsi, proses dan kemampuan dalam mempengaruhi dan mengarahkan orang-orang dengan cara kepatuhan, kepercayaan dan kesetiaan agar berbuat sesuatu sesuai dengan tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan.
Berikut definisi dan pengertian leadership dari beberapa sumber buku:
·         Menurut Purwanto (2007), leadership adalah permulaan dari suatu struktur atau prosedur baru untuk mencapai tujuan-tujuan dan sasaran organisasi atau untuk mengubah tujuan-tujuan dan sasaran organisasi.
·         Menurut Zakub (1984), leadership adalah menstimulasi, memobilisasi, mengarahkan, mengkoordinasi motif-motif dan kesetiaan orang-orang yang terlibat dalam usaha bersama.
·         Menurut Slamet (2002), leadership adalah suatu kemampuan, proses, atau fungsi, pada umumnya untuk mempengaruhi orang-orang agar berbuat sesuatu dalam rangka mencapai tujuan tertentu.
·         Menurut Rivai (2004), leadership adalah seni mempengaruhi dan mengarahkan orang dengan cara kepatuhan, kepercayaan, kehormatan, dan kerjasama yang bersemangat dalam mencapai tujuan bersama.
·         Menurut Baharudin dan Umiarso (2012), leadership adalah suatu kegiatan mempengaruhi orang lain agar orang tersebut mau bekerja sama (mengolaborasi dan mengolaborasikan potensinya) untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

2.3.2    Unsur-unsur Leadership
Dalam Leadership atau kepemimpinan memiliki tiga unsur utama, yaitu:
1.       Pengikut/followership. Adanya kepemimpinan ini disebabkan adanya pengikut atau followership. Seseorang menjadi pemimpin karena ada beberapa orang yang berkehendak untuk mengikuti yaitu bertindak sesuai dengan keinginan pemimpinnya.
2.       Tujuan. Kepemimpinan timbul karena adanya kepengikutan yang melakukan kerja sama dalam rangkai mencapai tujuan yang telah ditentukan bersama. Dengan adanya tujuan-tujuan tertentu timbul kerja sama dan timbul pula pemimpin untuk mengaturnya.
3.       Kegiatan mempengaruhi. Ini berarti bahwa seorang pimpinan dalam aktivitasnya membimbing. Mengontrol dan mengarahkan tindakan orang lain untuk menuju suatu sasaran tertentu.
Menurut Vietzal dkk (2013), seorang leadership dalam suatu organisasi harus memiliki unsur dan kriteria tertentu sehingga layak disebut sebagai pemimpin, yaitu:
1.     Pengaruh. Seorang pemimpin adalah seorang yang memiliki orang-orang yang mendukungnya yang turut membesarkan nama sang pimpinan. Pengaruh itu menjadikan sang pemimpin diikuti dan membuat orang ain tunduk pada apa yang dikatakan sang pemimpin.
2.     Kekuasaan/power. Seorang pemimpin umumnya diikuti oleh orang lain karena ia memiliki kekuasaan yang membuat orang lain menghargai keberadaannya. Tanpa kekuasaan atau kekuatan yang dimiliki sang pemimpin tentunya tidak ada orang yang mau menjadi pendukungnya. Kekuasaan dan kekuatan yang dimiliki seorang pemimpin ini menjadikan orang lain akan tergantung pada apa yang dimiliki seorang pemimpin, tanpa itu ia tidak akan bisa berbuat apa-apa. Hubungan ini menjadikan hubungan yang bersifat simbiosis mutualisme, dimana kedua belah pihak merasa saling diuntungkan.
3.     Wewenang. Wewenang adalah hak yang diberikan kepada pemimpin untuk menetapkan sebuah keputusan dalam melaksanakan suatu hal/kebijakan. Wewenang disini juga dapat dialihkan kepada karyawan oleh pimpinan apabila pemimpin percaya bahwa karyawan tersebut mampu melaksanakan tugas dan tanggung jawab dengan baik, sehingga karyawan diberi kepercayaan untuk melaksanakan tanpa perlu campur tangan dari segi sang pemimpin.
4.     Pengikut. Seorang pemimpin yang memiliki pengaruh, kekuasaan/power dan wewenang tidak dapat dikatakan sebagai pemimpin apabila dia tidak memiliki pengikut yang berada di belakangnya yang memberi dukungan mengikuti apa yang dikatakan pemimpin.

2.3.3    Fungsi Leadership
Menurut Baharuddin dan Umiarso (2012), terdapat lima fungsi pokok leadership atau kepemimpinan, yaitu:
1.       Fungsi Instruktif
Pemimpin sebagai pengambil keputusan berfungsi memerintahkan pelaksanaannya pada orang-orang yang dipimpin. Pemimpin sebagai komunikator merupakan pihak yang menentukan apa (isi perintah), bagaimana (cara mengerjakan perintah), kapan (waktu memulai, melaksanakan, dan melaporkan hasilnya), dan di mana (tempat mengerjakan perintah) agar keputusan dapat diwujudkan secara efektif.

2.       Fungsi Konsultatif
Pemimpin kerap kali memerlukan bahan pertimbangan yang mengharuskannya berkonsultasi dengan orang-orang yang dipimpinnya. Konsultasi dapat pula dilakukan melalui arus sebaliknya, yakni dari orang-orang yang dipimpin kepada pemimpin yang menetapkan keputusan dan memerintahkan pelaksanaannya. Hal ini berarti fungsi ini berlangsung dan bersifat komunikasi dua arah, meskipun pelaksanaannya sangat tergantung pada pihak pemimpin.

3.       Fungsi Partisipatif
Fungsi ini berarti kesediaan pemimpin untuk tidak berpangku tangan pada saat-saat orang yang dipimpin melaksanakan keputusannya. Pemimpin tidak boleh sekedar mampu membuat keputusan dan memerintahkan pelaksanaannya, tetapi juga ikut dalam proses pelaksanaannya, dalam batas-batas tidak menggeser dan mengganti petugas yang bertanggung jawab melaksanakannya.

4.       Fungsi Delegatif
Fungsi ini mengharuskan pemimpin memilah-milah tugas pokok organisasinya dan mengevaluasi yang dapat dan tidak dapat dilimpahkan kepada orang-orang yang dipercayainya. Fungsi delegasi pada dasarnya berarti kepercayaan. Pemimpin harus bersedia dan dapat mempercayai orang lain sesuai dengan posisi/jabatannya.

5.       Fungsi Pengendalian
Pemimpin mampu mengatur aktivitas anggotanya secara terarah dan dalam koordinasi yang efektif sehingga memungkinkan tercapainya tujuan bersama secara maksimal.

2.3.4    Sifat dan Syarat Seorang Leadrship
Menurut Terry (2009), seorang leadership atau pemimpin yang baik harus memiliki sifat-sifat sebagai berikut, yaitu:
1.       Energi. Untuk tercapainya kepemimpinan yang baik memang diperlukan energi yang baik pula, jasmani maupun rohani. Seorang pemimpin harus sanggup bekerja dalam jangka panjang dan dalam waktu yang tidak tertentu. Sewaktu-waktu dibutuhkan tenaganya, ia harus sanggup melaksanakannya mengingat kedudukannya dan fungsinya. Karena itu kesehatan fisik dan mental benar-benar diperlukan bagi seorang pemimpin.
2.       Memiliki stabilitas emosi. Seorang pemimpin yang efektif harus melepaskan dari berprasangka, kecurigaan terhadap bawahan-bawahannya. Sebaliknya ia harus tegas, konsekuen dan konsisten dalam tindakan-tindakannya, percaya diri sendiri dan memiliki jiwa sosial terhadap bawahannya.
3.       Motivasi pribadi. Keinginannya untuk memimpin harus datang dari dorongan batin pribadinya sendiri, dan bukan paksaan dari luar dirinya. Kekuatan dari luar hanya bersifat stimulus saja terhadap keinginan-keinginan untuk menjadi pemimpin. Hal tersebut tercermin dalam keteguhan pendiriannya, kemauan yang keras dalam bekerja dan penerapan sifat-sifat pribadi yang baik dalam pekerjaannya.
4.       Kemahiran mengadakan komunikasi. Seorang pemimpin harus memiliki kemahiran dalam menyampaikan gagasan baik secara lisan maupun tulisan. Hal ini sangat penting bagi pemimpin untuk mendorong maju bawahan, memberikan atau menerima informasi bagi kemajuan organisasi dan kepentingan bersama.
5.       Kecakapan mengajar. Sering kita dengar bahwa seorang pemimpin yang baik pada dasarnya adalah seorang guru yang baik. Mengajar adalah jalan yang terbaik untuk memajukan orang-orang atas pentingnya tugas-tugas yang dibebankan atau sebagainya.
6.       Kecakapan sosial. Seorang pemimpin harus mengetahui benar tentang bawahannya. Ia harus mempunyai kemampuan untuk bekerja sama dengan bawahan, sehingga mereka benar-benar memiliki kesetiaan bekerja di bawah kepemimpinan-nya.
7.       Kemampuan teknis. Meskipun dikatakan bahwa Semakin tinggi tingkat kepemimpinan seseorang, makin kurang diperlukan kemampuan teknis ini, karena lebih mengutamakan manajerial skillnya, namun sebenarnya kemampuan teknis ini diperlukan juga. Karena dengan dimilikinya kemampuan teknis ini seorang pemimpin akan lebih mudah dikoreksi bila terjadi suatu kesalahan pelaksanaan tugas.

Menurut (Rangkuti, 2009, p3), strategi adalah alat untuk mencapai tujuan. Tujuan utamanya adalah agar perusahaan dapat melihat secara obyektif kondisi-kondisi internal dan eksternal, sehingga perusahaan dapat mengantisipasi perubahan lingkungan eksternal. Dalam hal ini dapat dibedakan secara jelas fungsi manajemen, konsumen, distributor, dan pesaing. Jadi, perencanaan strategis penting untuk memperoleh keunggulan bersaing dan memiliki produk yang sesuai dengan keinginan konsumen dengan dukungan yang optimal dari sumber daya yang ada. Untuk memahami konsep perencanaan strategis, kita perlu memahami pengertian konsep mengenai strategi.
Menurut Osborn dalam John Willey dan Sons (1980:77)  menyebutnya sebagai “Tingkat pencapaian misi organisasi”. Dengan demikian dapatlah disimpulkan yang mana performance (kinerja) itu merupakan  “Suatu keadaan yang bisa dilihat sebagai gambaran dari hasil sejauh mana pelaksanaan tugas dapat dilakukan berikut misi organisasi”.

2.5            Karakter Individu
Menurut Panggabean dalam Prasetyo (2008:29), karakteristik individu merupakan karakter seorang individuyang mempunyai sifat khas sesuai dengan perwatakan tertentu.
Menurut Robbinsdalam Prasetyo(2008:29), karakteristik individu adalah cara memandang ke obyek tertentu dan mencoba menafsirkan apa yang dilihatnya. 13
Menurut Rahman (2013:77), karakteristikindividu adalah ciri khas yang menunjukkanperbedaan seseorang tentang motivasi,inisiatif, kemampuan untuk tetap tegarmenghadapi tugas sampai tuntas taumemecahkan masalah atau bagaimanamenyesuaikan perubahan yang terkait erat dengan lingkungan yang mempengaruhikinerja individu.Dari beberapa pendapat ahli diatas apat disimpulkan bahwa faktor individu atau individual haracteristics(karakteristik individu) adalah karakter seorang individu atau ciri-ciriseseorang yang menggambarkan keadaan individu tersebut yang sebenarnya dan membedakannya dari individu yang lain.

2.6            Budaya Organisasi
Menurut Robbins, budaya organisasi cukup didefenisikan sebagai sebuah persepsi umum yang dipegang teguh oleh para anggota organisasi dan menjadi sebuah sistem yang memiliki kebersamaan pengertian (dalam 2005:531)..
Robbins (2002:279) juga menjelaskan bahwa budaya organisasi menyangkut bagaimana para anggota melihat organisasi tersebut, bukan menyangkut apakah para anggota organisasi menyukainya atau tidak, karena para anggota menyerap budaya organisasi berdasarkan dari apa yang mereka lihat atau dengar di dalam organisasi. Dan  anggota organisasi  cenderung  mempersepsikan  sama  tentang  budaya   dalam organisasi tersebut meskipun mereka berasal dari latar belakang yang berbeda ataupun bekerja pada tingkat-tingkat keahlian yang berlainan dalam organisasi tersebut.


Lebih Lengkapnya bisa di Download : PPT dan PDF

0 komentar:

Posting Komentar