Selasa, 30 Juni 2020

PERAN SISTEM PENGATURAN, GOOD GOVERNANCE


2.1            Definisi Pengaturan
Pengaturan (governance) pada dasarnya sudah berjala dalam kehidupan manusia sebagai mahluk sosial, dan juga manusia sebagai mahluk alam. Pengaturan adalah sebuah proses pengambil keputusan dan proses yang oleh pengambil keputusan yang diimplementasikan, sebuah analisis dari pengaturan memfokuskan pada pelaku formal dan informal yang terlibat dalam pengambil keputusan dan mengimplementasikan keputusan yang telah diambil dan struktur secara formal dan informal yang sudah tersusun dalam sebuah tempat untuk segera dilaksanakan dan keputusan yang diimplementasikan. Pemerintah adalah salah satu pelaku dalam pengaturan, pelaku lainnya terkait dalam pengaturan yang tergantung pada tingkatan pemerintah yang kita diskusikan. Sama halnya dengan struktur pemerintahan formal sebagai salah satunya yang keputusan tersebut muncul dan diimplementasikan, pada tingkat nasional, struktur pengambilan keputusan informal, seperti “kitchen cabinet” atau penasehat informal akan tetapi eksis.

2.2            Karakteristik Good Governance
Birokrat sebagai pihak yang terlibat dalam pelayanan publik tentu memiliki andil yang cukup besar dalam mewujudkan good governance dalam pelayanan publik. Bentuk Pelayanan publik akan terlihat membawa Negara kepada good governance jika karakteristik pelayanan publik tersebut telah sesuai dengan karakteristik Good governance itu sendiri. Dalam hal ini, ada Sembilan karakteristik good governance dari United Nation Development Program (UNDP), yakni :
1.       Partisipasi
Konsep partisipasi tentu sejalan dengan system pemerintahan yang demokrasi yang diterapkan di Indonesia. Partisipasi secara sederhana berarti adanya peran serta dalam suatu lingkungan kegiatan. Peran serta disini menyangkut akan adanya proses antara dua atau lebih pihak yang ikut mempengaruhi satu sama lain yang menyangkut pembuatan keputusan, rencana, atau kebijakan. Dalam pelayanan publik, partisipasi tidak hanya terjadi diantara pihak pemerintah melalui birokrat yang kemudian membuat kebijakan mengenai bentuk pelayanan yang akan diberikan, tetapi juga harus melibatkan masyarakat sehingga mengetahui lebih lanjut apa yang sebenarnya dibutuhkan masyarakat dalam pelayanan publik. Dalam hal ini, pemerintah melalui pihak birokrat harus berperan sebagai fasilitator da katalisator yang memberikan pelayanan terbaik yang memang sesuai.
Tujuan utama dari adanya partisipasi sendiri adalah untuk mempertemukan kepentingan yang sama dan berbeda dalam suatu perumusan dan pembuatan kebijakan secara berimbang untuk semua pihak yang terlibat dan terpengaruh. Keterlibatan masyarakat lebih kepada pengharapan akan tertampungnya berbagai aspirasi dan keluhan masyarakat mengenai pelayanan yang diberikan oleh birokrat selama ini. Masyarakat terlibat baik dalam bentuk perencanaan untuk mengedepankan keinginan terhadap pelayanan publik, perumusan ataupun pembuatan kebijakan, serta juga sebagai pengawas kinerja pelayanan.

2.       Rule of law
Rule of low berarti penegakan hukum yang adil dan tanpa pandang buluh, yang mengatur hak-hak manusia yang berarti adnya supremasi hukum. Menurut Bargir manan (1994), supremasi hukum mengandung arti : Suatu tindakan hukunm hanya sah apabila dilakukan menurut atau berdasarkan aturan hukum tertentu (asas legalitas). Ketentuan hukum hanya dapat dikesampingkan dalam hal kepentingan umum benar-benar menghendaki atau penerapan suatu aturan hukum akan melanggar dasar-dasar keadilan yang berlaku dalam masyarakat (principles of natural justice). Ada jaminan yang melindungi hak-hak setiap orang baik yang bersifat asasi maupun yang tidak asasi dari tindakan pemerintah atau pihak lainnya.


3.       Transparansi
Transparansi berarti adanya keterbukaan terhadap publik sehingga dapat diketahui oleh pihak yang berkepentingan mengenai kebijakan pemerintah dan organisasi badan usaha, terutama para pemberi pelayanan publik. Transparansi menyangkut kebebasan informasi terhadap publik. Satu hal yang membedakan organisasi swasta dan publik adalah dalam masalah transparansi sendiri. Dalam organisasi swasta, keterbukaan informasi bukanlah suatu hal yang menjadi harus. Banyak hal yang dirasa harus dirahasiakan dari publik dan hanya terbuka untuk beberapa pihak. Sementara itu, organisasi publik yang bergerak atas nama publik mengharuskan adanya keterbukaan agar dapat menilai kinerja pelayanan yang diberikan. Dengan begini, akan terlihat bagaimana suatu system yang berjalan dalam organisasi tersebut.

4.       Responsif
Responsif berarti cepat tanggap. Birokrat harus dengan segera menyadari apa yang menjadi kepentingan public (public interest) sehingga cepat berbenah diri. Dalam hal ini, Birokrasi dalam memberikan pelayanan publik harus cepat beradaptasi dalam memberikan suatu model pelayanan. Masyarakat adalah sosok yang kepentingannya tidak bisa disamakan secara keseluruhan dan pada saatnya akan merasakan suatu kebosasanan dengan hal yang stagnan atau tidak ada perubahan, termasuk dalam pemberian pelayanan. masyarakat selalu akan menuntut suatu proses yang lebih mudah/simple dalam memenuhi berbagai kepentingannya. Oleh karena itu, Birokrasi harus dengan segera mampu membaca apa yang menjadi kebutuhan publik.

5.       Berorientasi pada consensus
Berorientasi pada consensus berarti pembuatan dan pelaksanaan kebijakan harus merupakan hasil kesepakatan bersama diantara para actor yang terlibat. Hal ini sejalan dengan konsep partisipatif dimana adanya keterlibatan dari masyarakat dalam merumuskan secara bersama mengenai hal pelayanan publik.
6.       Keadilan
Keadilan berarti semua orang (masyarakat), baik laki-laki maupun perempuan, miskin dan kaya memilik kesamaan dalam memperoleh pelayanan publik oleh birokrasi. Dalam hal ini, birokrasi tidak boleh berbuat diskriminatif dimana hanya mau melayani pihak-pihak yang dianggap perlu untuk dilayani, sementara ada pihak lain yang terus dipersulit dalam pelayanan bahkan tidak dilayani sama sekali. Konsep keadilan masih terlihat sulit diterpakan dalam pelayanan publik di Indonesia. Hal ini bisa dipengaruhi karena konflik kepentingan birokrasi.

7.       Efektif dan efisien
Efektif secara sederhana berarti tercapainya sasaran dan efisien merupakan bagaimana dalam mencapai sasaran dengan sesuatu yang tidak berlebihan (hemat). Dalam bentuk pelayanan publik, hal ini berarti bagaimana pihak pemberi pelayanan melayani masyarakat seefektif mungkin dan tanpa banyak hal-hal atau prosedur yang sebenarnya bisa diminimalisir tanpa mengurangi efektivitasnya.

8.       Akuntabilitas
Akuntabilitas berarti tanggung gugat yang merupakan kewajiban untuk member pertanggungjawaban dan berani untuk ditanggung gugat atas kinerja atau tindakan dalam suatu organisasi. Dalam pemberian pelayanan publik, akuntabilitas dapat dinilai sudah efektifkah prosedur yang diterapkan oleh organisasi tersbut, sudah sesuaikah pengaplikasiannya, dan bagaiman dengan pengelolaan keuangannya, dan lain-lain. Dalam birokrasi, akuntabilitas yang berarti akuntabilitas publik menjadi sesuatu yang sepertinya menjadi sosok yang menakutkan. Hal ini tentunya disadari dari ketidakjelasan atas kinerja birokrat itu sendiri. Namun, ternyata, banyak cara yang sering dilakukan para birokrat dalam menutupi kesalahan sehingga akuntabilitasnya terlihat baik.


9.       Strategic vision
Penyelenggara pemerintahan dan masyarakat harus memiliki visi jauh kedepan. Pemerintah dan masyarakat harus memiliki kesatuan pandangan sesuai visi yang diusung agar terciptanya keselarasan dan integritas dalam pembangunan, dengan memperhatikan latar belakang sejarah, kondisi social, dan budaya masyarakat.

2.3            Commission of Human
Commission of human right (Hak asasi manusia) adalah hak dasar yang dimiliki setiap manusia sejak manusia itu dilahirkan. Hak asasi dapat dirumuskan sebagai hak yang melekat dengan kodrat kita sebagai manusia yang hidup, maka bila tidak ada hak tersebut mustahil kita dapat hidup sebagai manusia. Hak asasi manusia diperoleh/didapat manusia dari Penciptanya yaitu Tuhan Yang Maha Esa sebagai sesuatu yang bersifat kodrati. Karena sifatnya yang demikian, maka tidak ada kekuatan apa pun di dunia yang dapat mencabut hak asasi setiap manusia, karna HAM bukan pemberian manusia atau lembaga kekuasaan.
Commission of human right (Hak asasi manusia) ini tertuang dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Menurut UU tersebut, hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh Negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Setelah perang dunia kedua, mulai tahun 1946, disusunlah rancangan piagam hak-hak asasi manusia oleh organisasi kerja sama untuk sosial ekonomi Perserikatan Bangsa-Bangsa yang terdiri dari 18 anggota. PBB membentuk komisi hak asasi manusia (commission of human right). Sidangnya dimulai pada bulan januari 1947 di bawah pimpinan Ny. Eleanor Rossevelt. Baru 2 tahun kemudian, tanggal 10 Desember 1948 Sidang Umum PBB yang diselenggarakan di Istana Chaillot, Paris menerima baik hasil kerja panitia tersebut. Karya itu berupa Universal Declaration Of Human Rights atau Pernyataan Sedunia tentang Hak-Hak Asasi Manusia, yang terdiri dari 30 pasal. Dari 58 Negara yang terwakil dalam sidang umum tersebut, 48 negara menyatakan persetujuannya, 8 negara abstain, dan 2 negara lainnya absen. Oleh karena itu, setiap tanggal 10 Desember diperingati sebagai hari Hak Asasi Manusia.
Universal Declaration of Human Rights antara lain mencantumkan, Bahwa setiap orang mempunyai hak, yaitu hak :
1.       Hidup
2.       Kemerdekaan dan keamanan badan
3.       Diakui kepribadiannya
4.       Memperoleh pengakuan yang sama dengan orang lain menurut hukum untuk mendapat jaminan hukum dalam perkara pidana, seperti diperiksa di muka umum, dianggap tidak bersalah kecuali ada bukti yang sah.
5.       Masuk dan keluar wilayah suatu Negara
6.       Mendapatkan asylum
7.       Mendapatkan suatu kebangsaan
8.       Mendapatkan hak milik atas benda
9.       Bebas mengutarakan pikiran dan perasaan
10.    Bebas memeluk agama
11.    Mengeluarkan pendapat
12.    Berapat dan berkumpul
13.    Mendapat jaminan sosial
14.    Mendapatkan pekerjaan
15.    Berdagang
16.    Mendapatkan Pendidikan
17.    Turut serta dalam gerakan kebudayaan dalam masyarakat
18.    Menikmati kesenian dan turut serta dalam kemajuan keilmuan

2.4            Kaitannya Good Governance dengan etika bisnis
Kode Etik dalam tingkah laku berbisnis di perusahaan (Code of Corporate and Business Conduct)” merupakan implementasi salah satu prinsip Good Corporate Governance (GCG). Kode etik tersebut menuntut karyawan & pimpinan perusahaan untuk melakukan praktek-praktek etik bisnis yang terbaik di dalam semua hal yang dilaksanakan atas nama perusahaan. Apabila prinsip tersebut telah mengakar di dalam budaya perusahaan (corporate culture), maka seluruh karyawan & pimpinan perusahaan akan berusaha memahami dan berusaha mematuhi  peraturan yang ada. Pelanggaran atas Kode Etik dapat termasuk kategori pelanggaran hukum.
Beberapa nilai-nilai etika perusahaan yang sesuai dengan prinsip-prinsip GCG, yaitu kejujuran, tanggung jawab, saling percaya, keterbukaan dan kerjasama. Kode Etik yang efektif seharusnya bukan sekedar buku atau dokumen yang tersimpan saja. Namun Kode Etik tersebut hendaknya dapat dimengerti oleh seluruh karyawan & pimpinan perusahaan dan akhirnya dapat dilaksanakan dalam bentuk tindakan (action). Beberapa contoh pelaksanaan kode etik yang harus dipatuhi oleh seluruh karyawan & pimpinan perusahaan, antara lain masalah :
1.       Informasi rahasia
Dalam informasi rahasia, seluruh karyawan harus dapat menjaga informasi rahasia mengenai perusahaan dan dilarang untuk menyebarkan informasi rahasia kepada pihak lain yang tidak berhak. Adanya kode etik tersebut diharapkan dapat terjaga hubungan yang baik dengan pemegang saham (share holder), atas dasar integritas (kejujuran) dan transparansi (keterbukaan), dan menjauhkan diri dari memaparkan informasi rahasia.
Selain itu dapat terjaga keseimbangan dari kepentingan perusahaan dan pemegang sahamnya dengan kepentingan yang layak dari karyawan, pelanggan, pemasok maupun pemerintah dan masyarakat pada umumnya.

2.       Benturan Kepentingan (Conflict of interest)
Seluruh karyawan & pimpinan perusahaan harus dapat menjaga kondisi yang bebas dari suatu benturan kepentingan (conflict of interest) dengan perusahaan. Suatu benturan kepentingan dapat timbul bila karyawan & pimpinan perusahaan memiliki, secara langsung maupun tidak langsung kepentingan pribadi didalam mengambil suatu keputusan, dimana keputusan tersebut seharusnya diambil secara obyektif, bebas dari keragu-raguan dan demi kepentingan terbaik dari perusahaan.
Beberapa kode etik yang perlu dipatuhi oleh seluruh karyawan & pimpinan perusahaan, antara lain menghindarkan diri dari situasi (kondisi) yang dapat mengakibatkan suatu benturan kepentingan. Selain itu setiap karyawan & pimpinan perusahaan yang merasa bahwa dirinya mungkin terlibat dalam benturan kepentingan harus segera melaporkan semua hal yang bersangkutan secara detail kepada pimpinannya (atasannya) yang lebih tinggi.
Setiap karyawan & pimpinan perusahaan yang melanggar ketentuan dalam Kode Etik tersebut perlu dikenakan sanksi yang tegas sesuai dengan ketentuan/peraturan yang berlaku di perusahaan, misalnya tindakan disipliner termasuk sanksi pemecatan (Pemutusan Hubungan Kerja).
Untuk melakukan pengujian atas Kepatuhan terhadap Kode Etik tersebut perlu dilakukan semacam audit kepatuhan (compliance audit) oleh pihak yang independent, misalnya Internal Auditor, sehingga dapat diketahui adanya pelanggaran berikut sanksi yang akan dikenakan terhadap karyawan & pimpinan perusahaan yang melanggar kode etik. Akhirnya diharpkan para karyawan maupun pimpinan perusahaan mematuhi Code of Corporate & Business Conduct yang telah ditetapkan oleh perusahaan sebagai penerapan GCG.


Lebih Lengkapnya Bisa Di Download di : PPT dan PDF

0 komentar:

Posting Komentar